Jumat, 08 Februari 2008

LOMBA SENJATA



Lomba Senjata Terus Berlangsung (2)
Teknologi militer terus berkembang. Pesawat tempur semakin canggih. Penangkalnya ada. Tipenya bermacam-macam. Mau yang jarak dekat, menengah, atau jauh ada. Mau berpemandu optikal, radar, infra merah, atau laser tinggal pilih. Semua menjanjikan mampu menjatuhkan pesawat musuh atau misil balistik.
Misil anti serangan udara buatan British Aerospace - British Aerospace
Sistem pertahanan udara yang ideal membutuhkan persenjataan yang baik. Lebih dari setengah abad, sejumlah negara terus membenahi sistem pertahanan udaranya. Tidak cuma negara-negara maju seperti Amerika, Russia, Inggris, atau negara Eropa lainnya, Indonesia pun dalam masa damai ini terus membenahi sistem pertahanan udaranya.
Setelah gagal memperoleh tambahan F-16 Fighting Falcon dan Su-30, belakangan tersiar berita bahwa Indonesia tengah mempertimbangkan untuk memperkuat armada pertahanan udaranya dengan membeli sejumlah radar dan misil anti serangan udara dari negara Timur.
"Kami tengah mengkajinya, tetapi dalam lima tahun ini mungkin baru penambahan radar saja. Untuk persenjataan kami menjajaki kemungkinan pembelian pesawat dan peluru kendali pertahanan pangkalan dari negara-negara Timur," kata KSAU, Marsekal TNI Hanafie Asnan di sela-sela peringatan HUT TNI AU, 9 April 2000 di Halim Perdanakusuma. Hanafie tak menyebut lebih spesifik tipe pesawat dan peluru kendali pertahanan pangkalan yang akan dibeli itu. Sumber-sumber menyebutkan, Indonesia tengah mempertimbangkan untuk membeli Su-30 dan misil anti serangan udara Tunguska mendampingi Rapier.
Dari radio hingga laser
Misil legendaris Soviet - Dispen AU
Pada prinsipnya sistem pertahanan udara terdiri dari dua bagian, yakni aktif dan pasif. Aktif maksudnya dalam kondisi tertentu bisa diberangkatkan sejumlah pesawat untuk menangkal serangan. Baru bila kemudian diketahui pesawat-pesawat itu tak mampu menangkis serangan dan musuh lolos hingga ke garis belakang pertahanan, sistem pertahanan udara pasif segera berfungsi.
Pertahanan udara aktif maupun pasif menuntut sistem senjata yang berkualitas. Bila pertahanan udara aktif menuntut ketersediaan pesawat, pertahanan udara pasif lebih menuntut sistem senjata anti serangan udara, di antaranya surface to air missile (SAM).
Keberadaan peluru kendali anti serangan udara mutlak dibutuhkan guna membangun sebuah sistem pertahanan udara yang baik. Lebih dari setengah abad, serangan udara menjadi salah satu cara paling efektif menghancurkan kekuatan lawan. Perang Kilat 'Blitzkrieg' Jerman atau Operasi Badai Gurun 'Desert Storm' Amerika dan Sekutunya, membuktikan kehebatan serangan udara itu.
Ada serangan udara, ada juga senjata anti serangan udara. Senjata penangkis itu sudah berkembang sejak era PD I dan II. Awalnya hanya berupa senjata mesin berkecepatan tinggi yang ditembakkan ke arah pesawat musuh.
Misil anti serangan udara baru berkembang tahun 1944. Adalah AB Jerman yang memanfaatkan misil itu untuk pertama kalinya. Pada masa akhir perang, Jerman menggeser tujuh misil darat ke udara Hs 117 Schmettering ke garis depan. Misil Jerman ini berpemandu gelombang radio, sebuah metode di mana operator misil itu memandu langsung misil hingga mengenai sasarannya. Mengingat tingkat akurasinya yang rendah, Schmettering dilengkapi dengan proximity fuze alat yang berfungsi meledakkan misil beberapa meter dari targetnya.
Pada waktu itu, sebagian misil anti serangan udara milik AD dan AU Jerman mengandalkan sistem kendali radio-visual, CLOS (command to line of sight.) CLOS menuntut kejelian operator mengarahkan misil ke sasarannya dari ruang kendali operasi. Operator mengetahui posisi target berdasar gambar tangkapan teleskop misil. Gambar dikirimkan lewat gelombang radio dan ditampilkan pada layar monitor di ruang kendali. Berdasar gambar itu operator mengendalikan arah misil hingga mengenai sasarannya.
Kesederhanaan konsep pemandu Schmettering menjadi dasar bagi perkembangan sistem pemandu misil anti serangan udara berikutnya. Little Joe dan Little Lark buatan Amerika menggunakan sistem pemandu yang mirip Schmettering. Berpemandu visual dan gelombang radio, tahun 1945 Little Lark berhasil menembak jatuh pesawat radio control F-4F Wildcat. Misil buatan Inggris, Brakemine disebut-sebut menggunakan sistem yang tak jauh berbeda, hanya lebih canggih karena sudah menggunakan radar sebagai pemandu misil dalam melacak dan mengunci sasarannya.
Sistem pemandu radar cukup populer dalam perkembangan selanjutnya. Dengan bantuan radar ini beberapa sistem lain bisa ditambahkan, antara lain penambahan sistem identifikasi lawan-kawan (IFF= Identification Friend or Foe) yang membuat misil anti serangan udara semakin pintar.
Dalam perkembangan selanjutnya, Jerman menjadi negara pertama yang bereksperimen melengkapi misil anti serangan udaranya dengan sistem homing menggunakan bantuan signal radar, infra merah, dan gelombang suara. Sistem homing yang lebih rumit mulai berkembang sekitar tahun 50-an di mana Inggris pada waktu itu mulai mengembangkan sistem pemandu SARH (semi active radar homing). SARH Inggris menuntut adanya radar pasif pada misil. Alat ini berfungsi menangkap signal radar yang terpancar dari sasaran. Gelombang radar atau pantulan radar pemandu di darat inilah yang akan menjadi input bagi sistem pemandu di dalam misil untuk mengarahkan misil sasarannya.
Bagaimana dengan Amerika? Tahun 1950-an Amerika mulai mengembangkan misil anti serangan udara yang relatif kecil dan mudah dipindahkan. Untuk itu dibutuhkan misil yang relatif kecil dan langsing. Bagaimana dengan sistem pemandunya? Konsep dasar mudah dipindahkan menuntut perangkat pemandu yang ringan dan ringkas. Untuk ini, Amerika memakai sistem pemandu optikal dan infra merah yang dirasa lebih ringkas dan tepat untuk tipe itu.
Dalam perkembangannya, tak mudah mengembangkan sistem IR yang mampu mengunci sasaran berupa pesawat tempur dari segala arah. Konsep dasar sistem IR adalah mencari sumber panas. Pada awal perkembangannya, seeker misil hanya mampu mengunci sasaran berupa panas yang keluar dari exhaust pesawat. Itu sama artinya, hanya mampu menembak pesawat penyerang bila pesawat telah melakukan aksinya. Butuh satu dekade menyempurnakan sistem IR yang mampu mengunci sasaran dari segala arah.
Swedia menjadi negara yang berhasil mengembangkan misil anti serangan udara berpemandu laser. Guna menguji kehandalan sistem ini, beberapa eksperimen pernah dilakukan. Ketika itu sistem dipakai untuk menembak pesawat penyerang berkecepatan supersonic. Tanpa bantuan radar peringatan dini, sistem berhasil menjatuhkan tujuh dari sepuluh pesawat penyerang. Sebagai penunjang, 'baby SAM' ini juga dilengkapi dengan proximity fuze laser, yang mampu mencegah agar misil tidak meledak sebelum waktunya akibat pantulan sinar laser oleh es atau air. Proximity fuze non aktif bila dipakai untuk menghancurkan helikopter yang terbang rendah.
Proximity fuze sendiri mengalami perkembangan yang berliku. Tahun 1945 Jerman berhasil mengembangkan proximity fuze yang bekerja berdasar sensor optikal/visual, radar, gelombang suara dan infra merah. Masing-masing sensor mempunyai spesifikasi dan cara kerja berbeda. Sistem optikal bekerja bila sensor menangkap besar gambar maksimum. Artinya, bila dalam jangka waktu tertentu gambar target yang tertangkap mulai mengecil, secara otomatis proximity fuze akan meledakkan misil. Begitu pula yang terjadi pada sistem sensor IR, radar, dan suara. Bila temperatur maksimum (IR), jarak terdekat (radar), atau tingkat suara maksimum (suara) tercapai, proximity fuze langsung bekerja.
Yang tak terbayangkan sebelumnya adalah proximity fuze bersensor gelombang suara. Awalnya, sistem ini dinilai tak akan berhasil karena misil sendiri sudah menghasilkan suara yang cukup berisik yang memungkinkan misil meledak sebelum mencapai sasaran. Suara berisik itu pula yang mungkin membuat sensor tak mampu membedakan mana suara misil dan mana suara mesin pesawat yang menjadi sasaran.
Memagari Washington
Semasa perang dingin dipakai sebagai pagar udara Washington - Rocket and Missiles
Sejarah membuktikan bahwa Jerman merupakan pelopor dalam perkembangan misil atau peluru kendali, termasuk peluru kendali anti serangan udara. Negara Timur maupun Barat baru tergugah beberapa tahun kemudian setelah 'resep' misil Jerman jatuh ke tangan mereka.
Awalnya Amerika mengembangkan misil anti serangan udara guna mencegah serangan udara dadakan, seperti yang pernah dilakukan Jepang atas Pearl Harbour, tak terulang. Lewat proyek Bumblebee, angkatan laut Amerika melakukan penelitian dan pengembangan misil anti serangan udara. Program ini dikenal pula dengan sebutan Section T (T merupakan huruf depan misil yang dikembangkan, yakni Terrier, Talos, Triton, Tartar, dan Typhon.) Terrier merupakan misil perpendorong roket, sementara Talos bermesin ramjet. Belakangan misil hasil program Section T ini digolongkan kedalam keluarga Standard Missile (SM) dan beberapa tipenya bisa diluncurkan dari kapal perang untuk menjatuhkan sasaran di udara.
Misil anti serangan udara Amerika yang tercatat pernah digelar secara besar-besaran antara lain A-7 Nike Ajax. Sejak Desember 1953 Ajax pernah dipakai membentengi Washington DC dari serangan pembom Uni Soviet. Filosofi menghadang pesawat musuh yang terbang tinggi membuat senjata ini menjadi sangat besar dan berat. Belum lagi sistem radar penunjangnya yang kompleks. Semua itu membuat Ajax menjadi misil yang tak mudah berpindah-pindah (shelter mounted SAM). Nama Nike diambil dari nama dewa kemenangan Yunani.
Sekitar 16.000 buah Ajax, rudal berpeluncur tunggal dan berjarak jelajah 40 kilometer, digelar sampai tahun 1959. Rupanya tak hanya Paman Sam yang menggelarnya, negara NATO lain seperti Italia, Yunani, dan negara non NATO-Jepang, juga mengandalkan Ajax. Sementara Inggris yang dinilai sudah dapat mandiri, menggelar persenjataan anti serangan udara buatan sendiri, Thunderbird dan Bloodhound yang berjarak jelajah 75 dan 80 kilometer. Patut dicatat tahun 1959, Australia menggunakan rudal yang sama. Selama 15 tahun rudal 1957 ini membentengi Sidney, Darwin dan N.W Cape.
Bagi Amerika Bloodhound memberi inspirasi baru. Spesifikasi Bloodhound membuka cakrawala baru dalam mencegat musuh di udara. Daya jangkaunya yang 80 kilometer itu memungkinkan mencegat pesawat musuh tanpa harus memberangkatkan pesawat interceptor. Cukup dengan rudal. Konsep itu melahirkan CIM-10A Bomarc yang mirip pesawat tempur. Saat bekerja rudal ini akan meluncur vertikal hingga ketinggian tertentu (maks 65.000 kaki). Sistem pemandu radarnya baru mengunci sasaran pada jarak 10 mil (16 kilometer) dengan kecepatan hampir mendekati Mach 4. Sayang strategi pencegatan ini tak bertahan lama. Akibatnya hanya sekitar 400 buah Bomarc yang pernah diproduksi. Dengan kata lain, Bomarc gagal menggeser program Arrow Kanada.
Gagal dengan Bomarc, Amerika terus mengembangkan keluarga Nike. Setelah Ajax, lahir belakangan N-25 Nike Hercules yang 15 kali lebih hebat dari pendahulunya. Amerika menyebut-nyebut misilnya itu mampu meluncur vertikal hingga 150.000 kaki (sekitar 46 km). Robert Berman dan Bill Gunston (Rockets & Missile of World War III) menyebut Nike Hercules sebagai 'monster'.
Hercules dilengkapi dengan sistem komputer dan radar Hipar (Hi-power Acquisition Radar) yang lebih canggih dari Ajax dan mampu menggotong hulu ledak nuklir yang dapat dipasang untuk menyergap rudal antar benua ICBM (inter continental balistic missile). Kehebatan Hercules terbilang mahal, semahal harganya. Sebuah Nike Hercules waktu itu berharga jual sekitar 55.000 dollar AS, sementara Ajax hanya 19.000 dollar AS. Lima belas tahun mengandalkan Hercules, tahun 1975 Amerika menggantinya dengan MIM-104 Patriot, rudal anti serangan udara yang tidak hanya mampu menjatuhkan pesawat lawan tetapi juga misil antar benua. Nama Patriot sempat melejit karena kemampuannya menjatuhkan Scud Irak semasa Perang Teluk. Oleh Israel, Patriot di-kilik menjadi Arrow yang mempunyai kemampuan lebih.
SA yang misterius
Rapier merupakan salah satu misil anti serangan udara berkinerja tinggi - Armoured Fire Power
Beda dengan Barat yang sering melebih-lebihkan kemampuan teknologi senjatanya, negara Timur yang 'tertinggal' dalam perkembangan teknologi senjata ternyata menyimpan sejumlah kejutan. Barat yang menilai negara Timur tertinggal itu sempat dibuat kaget oleh kemampuan surface to air missile Timur (diduga SA-2 Guideline) yang mampu menjatuhkan pesawat pengintai U-2 Dragon Lady, 1 Mei 1960. Tidak telak hantaman Guideline, namun ledakannya mampu merobek bagian sayap U-2 dan menjatuhkan pesawat berbadan hitam legam yang tengah mengintai di atas kawasan Uni Soviet. Uji lapangan sejenis berlanjut di medan tempur Vietnam dan Arab-Israel. Saat ini masih cukup banyak negara yang mengandalkan pertahanan udaranya pada SA-2 seberat 3.000 kilogram ini. Indonesia pun pada era 60-an pernah memiliki tiga skadron SA-2, masing-masing di Cibinong, Tanggerang, dan Cilincing.
SA-2 Guideline Uni Soviet disebut-sebut sebagai salah satu misil anti serangan udara setingkat Ajax. Sejak awal masa perang dingin, SA-2 selalu tersimpan di dalam tanah. Kalau pun mengalami perpindahan tempat, itu pun lewat terowongan. Pada kurun waktu 60-an Amerika memperkirakan lebih dari 4.000 SA-2 disembunyikan Soviet di bawah tanah. Menghadapi persaingan dengan Blok Barat, Soviet tak hanya mengembangkan SA-2. Sebagai kelanjutan SA-2, tahun 1964, Soviet menghadirkan SA-4 Ganef. Bermesin ramjet, Ganef mampu melaju lebih cepat dari SA-2 dan mampu menjangkau area seluas 47 mil, sebuah kemampuan yang tidak dimiliki oleh Amerika.
Generasi lanjutan misil anti serangan udara Soviet adalah SA-5 Gammon yang merupakan misil strategis. Kabarnya mampu melesat hingga 300 km. Amerika sendiri tak banyak tahu tentang kehebatan Gammon. Belum lagi mampu mengetahui spesifikasi Gammon, pada 7 November 1967, Soviet memamerkan SA-6 Gainful pada parade militer di Lapangan Merah. Amerika mengidentifikasinya sebagai sebuah misil bermesin ramjet yang mampu melaju melebihi kecepatan suara. Belakangan diketahui SA-6 menggunakan sistem pemandu radar CW (continous wave).
Tahu bahwa Barat tengah mencari cara untuk mematahkan sistem penejejak radar CW, Soviet mengembangkan SA-7 Grail yang merupakan misil anti serangan udara tentengan. Grail berpemandu IR dan dilengkapi dengan IFF. Soviet menyebutkan, ide ini sudah ada sejak tahun 1948. Amerika baru memulainya tahun 1958, dengan mengembangkan Redeye.
Itu belum semua. Hingga awal tahun 80-an, Amerika mengidentifikasi Soviet telah berhasil mengembangkan 13 tipe misil anti serangan udara (SAM) dengan beragam jarak jelajah. SA-9 dan SA-13 yang kecil itu mampu melesat hingga 8 kilometer. Yang kelas menengah, seperti SA-1, SA2, SA-4, SA-5, SA-6, atau SA-10 mampu melesat antara 20-300 kilometer. Belum lagi tipe SA yang dikembangkan belakangan ini. Meski bentuknya tak sebesar pendahulunya, ada yang mampu melesat ratusan kilometer.
Payung pelindung
Senjata anti serangan udara tentengan buatan Aerospatiale Matra, Perancis - Matra Defence
Menghadapi kemungkinan lolosnya pesawat musuh dari sergapan pesawat dan misil penghadang jarak menengah dan jauh, sejumlah negara juga mengembangkan misil pencegat jarak pendek. Tahun 1959, Amerika meski bukan negara pertama pengembang misil anti serangan udara jarak pendek mengembangkan A-18 HAWK (homing all-the-way killer). Perangkat ini dibuat guna memenuhi kebutuhan infanteri Amerika merealisasikan 'payung udara'-nya. HAWK mudah dipindah-pindahkan, sesuai dengan syarat yang ditetapkan.
Sejauh mana kehebatan HAWK, bisa dikata belum terlihat. Meski demikian HAWK boleh dibilang senjata pertahanan udara Barat yang paling laku. Sekitar 39.000 buah pernah dibuat oleh Raytheon dan digunakan oleh 20 negara di dunia, termasuk Filipina dan Thailand. Pada prakteknya, rudal yang versi terbarunya mampu melesat hingga 40 kilometer dalam kecepatan jelajah 2,5 mach ini terlalu berat untuk dibawa-bawa.
Akibatnya Amerika mencari senjata pertahanan udara pengganti yang lebih ringkas dan kompak. Pengandaaan senjata pengganti itu dimenangklan Ford Aerospace. Lahirlah kemudian Chaparral yang tak lain merupakan versi darat ke udara dari Si Legendaris Sidewinder. Konsepnya, Ford menempatkan empat buah Sidewinder di atas kendaraan angkut M 730 yang merupakan modifikasi pengangkut personil M-113. Pada era 1965-an perangkat elektronik dan sistem pencari sasaran Chaparral terbilang maju. Selain menggunakan sistem pencari IR, Ford Aerospace melengkapi Chaparral dengan sistem IFF.
Era 90-an Raytheon berusaha mengembangkan senjata anti serangan udara dengan prinsip yang sama, hanya saja menggunakan misil yang berbeda. Raytheon menggunakan AMRAAM (advanced medium range air-to-air missile) yang memiliki kemampuan mengintip sasaran yang masih di luar jangkauan visual. Senjata ini juga menganut konsep mobile atau mudah dipindahkan. Untuk itu lima AMRAAM ditempatkan pada kendaraan serba guna Hummer atau perangkat transportasi milik HAWK.
Inggris dan negara-negara Eropa Barat rupanya tak ingin ketinggalan membuat payung udara untuk kepentingan infanterinya. Inggris mengembangkan Tiger Cat yang merupakan versi darat Sea Cat, juga Rapier berpemandu radar. Perancis yang tersohor dengan Exocet, membuat Crotale. Sistem kendalinya menggunakan gabungan antara infra-merah dan radar yang mampu menentukan 12 sasaran paling berbahaya dari 30 sasaran yang terdeteksi. Selain pada kendaraan beroda, rudal yang memiliki jarak efektif antara 15 sampai 5.000 meter ini dapat juga ditempatkan diatas chasis tank AMX 30. Aerospatiale pun juga mengembangkan versi AL untuk ditempatkan di kapal dengan nama Sea Crotale.
Bagaimana dengan negara Timur? Tak seperti Barat yang selalu menggembar-gemborkan senjata buatannya, tanpa banyak bicara Timur juga mengembangkan misil anti serangan udara jarak pendek. Hingga kini pun program pengembangan senjata penangkis serangan udara jarak pendek itu masih berlanjut. Ada Tunguska dan Pantsyir yang antara lain merupakan senjata andalan Timur produk terbaru. Kabarnya Tunguska ini bakal menjadi salah satu senjata penangkis serangan udara yang tengah dikaji oleh AB Indonesia.
Tunguska tampaknya memenuhi kriteria yang disebutkan Hanafie, sebuah senjata anti serangan udara jarak pendek dan dilengkapi dengan senjata mesin dan peluru kendali. Kelebihan lain, senjata penangkis serangan udara ini mudah dipindahkan dan mampu melumpuhkan pesawat lawan meski tengah berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Senjata mesinnya mampu melumpuhkan pesawat atau helikopter musuh pada jarak dekat, sementara peluru kendali darat-ke-udara 9M311-M1 (Kode NATO SA-19 Grison)-nya mampu menghancurkan pesawat tempur atau helikopter yang masih berada di luar batas pandang mata. Filosofi mudah dipindahkan dan murah, tetapi memiliki kemampuan yang menjanjikan, bakal menjadi pertimbangan pemerintah Indonesia. Apalagi karakter senjata ini sesuai dengan karakter geografis dan strategi pertahanan udara Indonesia.
Selain Tunguska, Rusia juga mengandalkan Pantsyr S1. Panstsyr efektif menghancurkan pesawat udara, helikopter, rudal penjelajah dan balistik, senjata berpresisi tinggi lain, pesawat tak berawak, hingga kendaraan bersenjata ringan di darat. Pantsyr dipersenjatai dengan 12 rudal darat-udara tipe 57E6 dan dua senjata mesin tipe 2A72. Dilengkapi dengan proximity fuze rudal 57E6 berkecepatan 1.100 meter per detik mampu melumpuhkan sasaran antara 1-12 kilometer. Sementara senjata mesin 57E5 yang mampu memuntahkan 700 peluru 30 milimeter per menit itu bisa menjangkau sasaran yang berada 4 kilometer di depan.
Untuk mencari sasarannya, Biro Desain Tula melengkapi Pantsyr dengan radar pencari sasaran yang bekerja dalam dua panjang gelombang. Radar ini sudah mampu mendeteksi sasaran pada jarak 30 kilometer dan men-tracking benda seluas 2-3 centimeter per segi dalam jarak 24 kilometer.
Seperti halnya radar, sistem senjata ini juga dilengkapi dengan electro optical dan infrared direction finder, termasuk sistem prosesor digital dan tracking sasaran otomatis. Ini yang membuat Pantsyr menjadi mahal. Versi lebih murah kini tengah dikembangkan dengan hanya melengkapi Pantsyr dengan sistem elektro optikal saja. Tetapi dengan hanya memanfaatkan sistem eletro optikal ini, Pantsyr tak sehebat versi aslinya yang mampu menjejak sasaran hingga 12 target per menit.
Jerman mengembangkan LeFlaSys Light Mechanized SHORAD (short range air defence system) atau ASRAD (atlas short range air defence system) dikembangkan oleh STN Atlas Elektronik Gmbh dan Krauss-Maffei Wegman, Jerman. Semua LeFlaSys dikembangkan khusus untuk kepentingan AB JErman. Didesain untuk mempertahankan aset-aset vital seperti pusat komunikasi dan informasi, lapangan udara, dan untuk melindungi pasukan di garis depan dari serangan helikopter dan pesawat tempur musuh.
Senjata anti serangan udara lain buatan Jerman dan Perancis adalah Roland yang pertama kali digunakan Perancis tahun 1977. Penghujung abad XX, Roland yang menggunakan sistem pemandu radar dan IR mengalami modernisasi. Hasilnya berupa Carol yang hingga kini masih dalam pengembangan.
Konsep mobile sepertinya bakal paling mudah dipenuhi oleh rudal-rudal jinjing. Era 60-an bisa dibilang sebagai kelahiran rudal anti pesawat model jinjing. Konsep ini sebenarnya diambil dari senjata pemusnah tank semasa PD II yang dapat dibawa kemana-mana (man-portable). Semacam panzerfaust-nya Jerman atau bazooka dari Amerika. Bila dapat digunakan untuk menghancurkan tank kenapa tak sekalian untuk menghalau pesawat terbang.
Amerika mengembangkan senjata model jinjing XMIM-43 Redeye. Bentuknya terbilang sederhana, mirip bazooka. Senjata panggul seberat 13 kilogram ini menggunakan radiasi infra merah sebagai penuntunnya. Generasi penerus Redeye adalah Stinger yang mulai masuk jajaran operasional pada tahun 1982. Rudal yang bobotnya lebih berat tiga kilo dari pendahulunya ini terkenal garang di lapangan. Puluhan heli dan penempur AU Afghanistan pro Uni Soviet rontok dihajar Stinger yang dipakai oleh Mujahidin. Padahal saat itu rudal yang digunakan masih generasi awal Stinger.
Dari keberhasilan ini Raytheon Corp mengembangkan ke versi yang lebih canggih lagi. Dengan nama Stinger Blok 1 dan 2. Segudang kemampuan baru ditambahkan. Antara lain sistem RMP (reprogammable microprocesor), atau sistem komputer yang dapat diprogram ulang sesuai dengan ancaman yang akan dihadapi. Hasilnya selain untuk merontokkan pesawat, rudal ini juga mampu untuk menghadang rudal jelajah seperti Tomahawk. Cara meluncurkannyapun juga tak harus diarahkan ke bagian belakang sasaran, lantaran blok 1/2 ini menganut sistem all aspect. Diluar AS tercatat Denmark, Jerman dan Belanda juga menggunakannya. Untuk mendukung gerakan pasukan infanteri, AS kemudian menggabungkannya dengan kendaraan-kendaraan lapis baja. Contohnya adalah Linebacker, dimana Stinger ditaruh diatas kendaraan pengangkut personel M-2 Bradley. Modifikasipun dilakukan pada sistem periskop dan sistem peluncur rudal. Mau yang lebih ringan? Stinger pun dipasang pada jeep Hummer. Avanger begitulah sebutannya.
Lain AS, lain pula Inggris. Negeri ini menelurkan Blowpipe di era 60-an sebagai generasi awal senjata panggulnya. Awalnya rudal ini merupakan satu kesatuan sistem pertahanan udara yang dirangkai dengan rudal yang berjarak jangkau lebih jauh, Tiger Cat. Inovasi yang ada pada rudal yang berjarak jangkau 3,2 kilometer ini adalah sayap-sayap (fin) yang terlipat. Alhasil tidak diperlukan tabung peluncur yang kelewat besar diameternya. Di era 80-an Short kembali mengeluarkan generasi penerus Blowpipe, yaitu Javelin. Saat konflik Malvinas berkecamuk, Javelin bersanding dengan Rapier menghalau serangan A-4 Skyhawk AU Argentina.
Generasi akhir rudal ini adalah Starburst. Sistem kendalinya menggunakan bimbingan sinar laser. Keuntungannya, sistem sensor rudal tidak perlu didinginkan saat beroperasi. Hal yang diperlukan pada rudal pencari panas (heat seeking). Selain itu Starburst juga memiliki kemampuan anti jamming, terhadap chaff, flares, maupun ECM.
Dari Blok Timur muncul SA-7 Grail sebagai awal generasi rudal panggulnya. Rudal yang di Barat dikenal dengan nama Strela (panah) memiliki populasi hingga 50.000 buah di seluruh dunia. Itupun yang resmi digunakan oleh Angkatan Bersenjata Dunia, belum terhitung yang jatuh ke tangan kaum teroris. Uni Soviet juga mengembangkan SA-7 yang ditempatkan pada kendaraan lapis baja BRDM-2 dengan nama SA-9 Gaskin. Di akhir era 90-an Strela mengalami penyempurnaan sistem kendali agar setara dengan Stinger versi canggihnya. Yaitu Igla-1.
Diluar ketiga produsen besar itu sebenarnya masih banyak rudal-rudal panggul lainnya. Semisal Mistral dari Aerospatiale Matra, Perancis atau RBS 70 bikinan Bofors Swedia. Bahkan negara yang dulunya hanya sebagai operatorpun kini mencoba membuat sendiri. Sebut saja China dengan QW-2 yang tak lain adalah jiplakan SA-7. Atau Pakistan dengan rudal panggul Anza Mk II yang berkemampuan mencegat pada jarak 5.000 meter. Jadi Indonesia mau beli yang mana?(avi/ttg)